PENYEBAR ISLAM DI NUSANTARA ; Menjinakan "Kuda Liar" Meluluhkan Hati Ummat

PENYEBAR ISLAM DI NUSANTARA ; Menjinakan "Kuda Liar" Meluluhkan Hati Ummat

Oleh: Ku2h





Adalah motto Einstein yg terkenal kontrofersi adalah : "KALAU INGIN SUKSES, LANGGARlah ATURAN” kedengaran, edan. Yuk perhatikan, Kehebatan konsep, sifat wajib & sifat mustahil yg hrs dimiliki oleh seorang Nabi dan Rosul apalagi dzat yg layak disebut sbg Tuhan [baca; Alloh Subhanahu Wata’ala] adalah “pembeda” KELEBIHAN konsep ajaran ISLAM yg justru kini  getol dipelajari kalangan non muslim yg menyadari ISLAM punya komperhensifitas AJARAN. Kondisi kontra legal apapun ttg nilai ISLAM mereka jadikan OBYEK mengaplikasikan Ilmu Kelirumologi [sebutan kang Jaya Suprana] untuk ciptakan “penyesatan” aqidah, melumpuhkan carafikir & tindakan ummat yg “KEMRUSUK” [baca; gede rumongso], shng seolah-olah paling benar sendiri namun jika ditelaah maka ia telah melanggar nilai ISLAM yg sesungguhnya Agung. Hasil rekadaya “doktrin” tsb dpt kita lihat adalah maraknya paham RADIKALISME. Itu bkn kepribadian ISLAMI tetapi “virus” yg sengaja dikloning ‘tuk penyesatan ummat ISLAM yg PERKEMI [Persatuan Kemeruh Indonesia] tinggi. Hmm, perhatikan, bhw ISLAM tumbuh subur dan berkembang di Nusantara krn nilai-nilainya tdk mjd ‘koloni’ bhkn bukan mrp ancaman bg budaya lokal. Islam msk di Nusantara dibawa oleh para waliyulloh [baca; wali songo] bagai jamur yg tdk ber-kadar racun sedikitpun berhasil mjd “penyempurna nilai” bagi tradisi luhur yg telah ada. Transformasi nilai tradisi sufisme yg ditata mjd edukasi spriritual dlm kurun waktu dengan konsep : takholli, tahalli dan tajalli, lambat laun menjelma mjd pendidikan Agama yg berkarakter elok sejak sebelum NKRI merdeka. Oleh kalangan ahli tassawuf nilai tsb di jdkn format kurikulum “gemblengan lahir-batin” di Pesantren sbg sentra pendidikan. Nilai tsb kemudian dikenal dgn sebutan BUNGA ISLAM yg berintikan ; segala bentuk kesenangan adalah ‘nafsu’ dan jarus dikendalikan sebaliknya mengisi dengan kebaikan-kebaikan amaliah lahir batin.  Gudaan aneka nafsu kesenangan tersebut analogikan sbg ‘kuda liar’ dari belantara yg berbeda [penglihatan, pendengaran, ucapan, angan-angan/ rasa /penciuman]. Karenanya nya jk manusia ingin bisa menaikinya ‘tuk kemanfaatan ‘kehidupan’ mk wajiblah ia lebih dulu dapat “menjinakanya” untuk dpt menempuh perjalanan mencapai tujuan ‘keselamatan’ di ‘wilayah’ manapun yg akan dituju. Wilayah / daerah itulah dlm pendidikan tassawuf disebut sbg ragam tanjakan permasalahan hidup. Tradisi spiritual konsep sufisme inilah kemudian yg berhasil meletakkan ‘akal budi pekerti’ para penyebar Agama Islam di Nusantara, adalah “pemilik kepribadian unggul” yg mjd ciri utama kepribadian Ulama’, Kyai Pesantren yg mempunyai “kematangan budi di atas normal” [baca; mengosongkan Hawa & Nafsu]. Dan dari hikmah tsb pula awal pengistilahan ISLAM NUSANTARA tersematkan. Karenanya mereka [baca; beliau ; para Kyai / Ulama’] pada zaman Islam msh baru berkembang [baru masuk Nusantara] hingga zaman penjanjahan maupun kemerdekaan para Kyai & Ulama’ inilah yg mjd “panutan” masyarakat dan tdk perlu legitimasi formal, segala ucapan, tingkah & lakunya mjd rujukan sikap bagi ummat bhkn “pemeluk” keyakinan lain berkiblat sikap kepada mereka. Ulama’ & Kyai dlm berdakwah tdk memerlukan “debat” tdk juga butuh “menghujat, menghina, membid'ahkan, mengkafirkan, memusrikan, apalagi menyakiti / menghilangkan nyawa orang / mahkuk lainya” baik pd orang yg memusuhi dr kalangan sendiri maupun pemeluk keyakinan lain. Pantulan kepribadian Kyai & Ulama’ tradisi sufi / tassawuf inilah yg mampu meng hadirkan & menebarkan aroma “bunga Islam” yg harum semerbak lagi menyejukkan semua ummat bs merasakan keharumannya. Namun Perjalanan zaman, tradisi tassawuf yg lazimnya mjd ciri khas kehidupan pesantren kisaran th 70 an kebawah mengalami degradasi menghawatirkan tergantikan oleh gaung POLITIK yg diposisikan sbg Panglima. Politik menggeser suasana “langka” kepribadian Sufi yg dipancarkan oleh pembawa ISLAM maauk Nusantara dahulu sebagai Kyai & Ulama yg mampu membuka kitab-kitab Tassawuf sprt Ihya’ul Ulumuddin, Al Hikam, Bidayatul Hidayah, Minhazul Abidin dll, dst, regenerasi ke-Ulamaa’an serta ke-Kyai-an sudi pun terkikis oleh muncul-nya [mereka] yg menamakan diri sbg Pembaharu Islam, yg hny menempuh “proses” belajar ttg Islam relatif singkat sdh dgn membusung dada bhkn berhardik, menghujat “itu BID’AH, ini bid’ah bla.. bla.. & bla” bahkan ada yg sampai KEBABLASAN merekadaya bhw ISLAM ‘tuk di-LIBERAL-kan. Na’udzubillah. Kalangan ini cenderung menyampaikan “kebenaran” yg sdg mereka pahami sejengkal dgn bermacam pekikan suara yg mekakkan telinga siapapun, bhkn pd situasi & perkembangan terahir [terkini] tradisi “radikal” mjd pilihan yg seolah sbg JALANKELUAR. Pertanyaanya, Mengapa para tokoh ISLAM kehilangan “pantulan-pantulan kepribadian” [baca; ahlaqul karimah yg ditauladankan oleh Rosululloh dalam menjalankan PERAN pencerah ummat ?)
Dengan kalimat sederhana Ko2 melihat perbedaan nyatanya, yakni regenerasi ke-Ulamaan / Ke – Kyaian era kini kurang memahami pentingnya Kepribadian Sufisme untuk mencapai TERJALnya sikon zaman APAPUN. Mereka lebih suka mengambil JALAN PINTAS [LIBERAL] bahkan kintir hanyut thdp syahwat POLITIK dlm menggunakan KACAMATAN ISLAM. Mereka terbalik TERSERET oleh “KUDALIAR” yg smestinya lebih dulu wajib dpt mereka jinakan. Bagaimana “mereka” [baca; para Ustadz muda] yg berpaham RADIKAL umumnya menempuh proses wkt singkat belajar ttg esensi ISLAM bisa melihat Indah & harumnya BUNGA ISLAM untuk menaklukan HATI semua ummat KALAU mereka blm mampu mengendalikan “segala bentuk kesenangan ‘nafsu’ [kebencian, kemarahan, srt gede rumongso lainya] yg dlm tassawuf di analogikan sbg ‘kuda’ liar dari belantara nafsiah ?  Hmm.. jika manusia ingin menaikinya untuk kemanfaatan ‘hidupnya’ mk syarat utama MEREKA hrs lebih dulu dapat “menjinakanya” sebelum mereka ingin menjinakkan HATI ummat manusia lainnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Wong Jowo Kudu Tetep Njawani" ; BABAT TANAH JAWA (bag.2)

Mahluk Tuhan Jangan Melampaui BATASANYA