Candu SENGKUNIMOLOGI di Tahun Politik, MOSOK (?)

Candu SENGKUNIMOLOGI di Tahun Politik, MOSOK (?)
(Gejala Pengeroposan Nilailuhur Bangsa ?)


Oleh : Arif Koko


Dalam pewayangan “karakter” sengkuni sangat dikenal sebagai “biang-nya ... ” [baca; pengisruh].  Suka usil, kasak bin kusuk, menjual ‘isue dan aib pihak lain’ tetapi tak brani bertindak sendiri dia pasti cari kambing hitam atau memper cundangi orang lain untuk mencapai tujuan 'piciknya'.
Nah zaman now pecandu SENGKUNI MOLOGI lazim di jumpai jelang hajatan lima tahunan. Keluh seorang teman tiap kali  jelang hajatan tersebut mengumpat : "Jiangkriek !  dekat pemilu serentak pilpres 2019 mesti suasana kerja mesti gak enak muncul "biyang" sengkuni pada menjulurkan lidahnya mencari tuan untuk dijilas-jilat, apalagi sing ber-Politik praktis ucapanya kayak blek-e krupuk terseret truk, berisk-sik"       Indikasi tersebut nampak Maraknya Labeling politik dan politik labeling, kriminalisasi, tudingan gaknjelas, saling mbuka aib, tebar pesona fitnah, hoax maupun dikotom isasi istilah dalam azas sengkunimologi level advant adalah tanda pengkotakan tercipta dengan gemilang , ada : kubu, koalisi, poros, kelompok, paham, makar dll istilah yang sengaja menegasi garis pemisah antara satu dangan lainya sehingga “pruralitas punya alasan tuk diambissing supaya bisa jadi plural ism”, hmm pembodohan AKUT ! Anehnya slalu di jadikan bahan bakar oleh "mereka" untuk pemecah belah masyarakat, terimplementasi gramatik. Contoh yang paling klasik namun dianggap tetap ampuh, mendikotomis : jika Kubu "x" bisa menarik "y" sbg representasi [Muhammadiyah] "x" akan dilebeli modernist, dan andai si "a" bs nggandeng "b" representasi NU [Warga Nahdliyin] mk "a" dilebeli culturist atau sebaliknya. Lainya, yunior- senioritas, minoritas-mayoritas, dan bla bla bla dipakai dlm tanda kutip sbg bhn materi dasar sengkunimologi format politik.
Ko2 kerap mengingatkan pada banyak tulisan ; siapapun di musim politik adalah hak dan kwajibanya sama sbg warga negara, apalagi warga ormas yang memiliki sensitifitas emosi / fanatisme seperti : NU - Muhammadiyah, Katholik- Protestan dll tdk lah HARAM menentukan aspirasi aendiri BERBEDA pilihan politik dgn para tokohnya /elit di ormasnya [baik NU maupun Muhammadiyah], Kresten-Katholik, Hindu-Vudha dll dst, kalau pd jung ujungnya hny dijadikan kuda trompah atau trompah kuda (Baca: lemek) maka, janganlah warga/ummat di jadikan obyek “kuda trompah politik” (oleh, untuk dan bagi) para elitnya. Karena “konsep Politik kita formatnya jelas “demokrasi Pancasila” titik, tdk boleh ditawar.
Memenangkan percaturan politik hrs mjd SENGKUNI-sengkuni, apalagi sebatas "anthek-anthek" sahaja, itu terlalu naif dan murah bahkan hina bro, dimana harga diri elo kalau sebatas pembebek (?)  Fenomena (sisa "perang" labeling pilpres 2014 lalu) jangan di episodekan bak sinetron ke pilpres 2019 ini, dikotomi PRABOWO-JOKOWI tdk hrs berlanjut menyeret-nyeret siapapun, institusi apapun terlebih ormas keagamaan terbesar seperti NU-Muhammadiyah, dll. Dan upaya yang tidak bertanggung jawab yang dipupuk terus mensekat scr dikotomis Agamis-Nasionalis, dll dlm kelatahan dikotomi sama oleh oknum yg “mengaku” elitis, pengamat bhkn pakar sekalipun hrs meperhitungkan realitas bhw Bangsa Indonesia memang pluralitas, namun kenyataan tsb tdk hrs (skali lagi) TDK HARUS diplintir mjd doktrinasi pluralism [paham pengagung perbedaan] itu PEMBODOHAN besar. Itu jauh amat berbahaya, padahal amat saja gak sebahaya itu. Tanggung jawab kita bersama adalah menjaga koridor etika berpolitik, menggosok-gosok issue, black champaigne, apalagi kriminalisasi trhdp salah satu “figur, ormas, kelompok bhkn (maaf) sekte sekalipun" dlm konteks wacana “pembahasan/ulasan” dalih HAM / kebhinnekaan dll itu sama menginjak domain hukum [indikasi tindak pidana] bila hal tsb tdk didukung oleh alat bukti, hrs nya ada upaya hukum sama untuk adukan oknum ybs sebagai terdakwa pelaku tindak pidana. Bahkan meski punya alat bukti sekalipun, etika hukum hanya membenarkan “prosedur hukum” ; delik aduan atau melaporkan resmi. Tidak spt yang saat ini marak 'marwah penegakan hukum" lg gencar dilakukan [berdalih HAM kebhinnekaan yg di jamurkan) diarahkan pd salahsatu kelompok hanya krn sangat sulit diajak kompromi dlm "tanda petik" lalu dijerat cara labeling politic, kriminal isasi. Kasus Dahlan Iskan adalah contoh sejarah penegakan hukum yg diduga telah terjangkit korban 'sengkuni mologi', you are a radicalist, Ente extrimist, sampean makarist, jnengan are terorist, elo top rivalist dst dsb. Namun anehnya gak ada yg nggubris atas dugaan marak penebaran aroma panggang sate paham (diduga) neo komunism. Inilah ironi. Jika mmg siapapun ingin membangun budaya politik kedalam format Political Education maka sebaiknya menempuh jalur hukum, bukan cara sengkunism seperti yg kini mulai jadi “kegemaran laten” para politikus sengkuni, nggosok-gosok issue plus blow up ke media dgn "bumbu2 hiperbolist" dan bla bla bla, jadilah masakan "politik suja-taksuka".
Hmm.. jangan demikian Jorok dalam berpolitik, Bro..,   Kalau istilah makian gaya Jawa Timuran hal yang keterlaluan sprt itu layak dapat hadiah makian (maaf) : "koen ojok njancuki men nemen, cuk !".       Lantas , saling ter TAWA NGAKAK, rame-rame. 
Ohhh dunia akhir zaman... Astaghfirullohal adhiim.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Wong Jowo Kudu Tetep Njawani" ; BABAT TANAH JAWA (bag.2)

Mahluk Tuhan Jangan Melampaui BATASANYA